Melestarikan Kuliner Tradisional


Cirebon yang dikenal dengan Kota Udang bagi kebanyakan warga Jakarta merupakan tujuan berlibur kedua setelah Bandung tiap akhir pekannya. Terlihat dari bertambahnya jumlah jam keberangkatan Kereta Api, begitu pula adanya tambahan kereta api eksekutif – diberi nama Argo Jati (dari kata Sunan Gunung Jati)- . Dan ternyata peminatnya pun banyak. Dengan harga Rp 80.000,- untuk sekali jalan dalam waktu tempuh 2,5 jam saja (bayangkan bila menggunakan mobil bisa ditempuh dalam 5 jam).

Sebagai salah satu kota Wali dan kota transit - bagi pemudik yang berada di wilayah Jawa bagian Tengah dan Timur -, menurut saya Cirebon menjadi kota yang sibuk dan padat apalagi ketika musim libur lebaran.

Bagi anda yang ingin menginap untuk menikmati kota Cirebon, gak perlu kuatir masalah tidur. Banyak hotel dan penginapan disini, - terlebih beberapa hotel baru bermunculan di tempat yang strategis -.

Begitupun soal makanan, baik masakan khas Cirebon maupun masakan lainnya ada kok. Adik saya, jika kami merencanakan berlibur pulang kampung ke Cirebon selalu menyediakan jadwal acara untuk wisata kuliner. Sebut saja Empal Gentong Mang Dharma, Tahu Gejrot angkringan (yang terkenal di Pasar Kanoman), Mie Koclok Cirebon di Panjunan, Docang di alun-alun Kasepuhan, Nasi Jamblang Mang Dul atau juga yang di Pelabuhan, Nasi Lengko di Pagongan, Lotek di Parujakan, jejeran penjual rajungan di Pasar Parujakan, belum lagi oleh-oleh Cirebon. Umm, membayangkannya saja sudah ter inga-inga untuk segera tiba di rumah Ibu.

Bergesernya zaman dari tradisional ke modern, membuat anak-anak zaman kini kurang begitu doyan untuk mencicipi hidangan tradisional. Apalagi melihat keponakan-keponakan yang sudah menginjak remaja, jika disuguhi makanan-makanan khas daerah menyentuhpun tidak, - entah sudah kenyang, malas atau gak doyan -. Maka, ketika sekolah anak saya mengadakan acara Traditional Food Day, saya dengan semangat berpartisipasi mensukseskan acara tersebut sekaligus meberikan ajaran bagi anak saya untuk lebih mengenal makanan Indonesia. Paling tidak dia sudah tau apa itu semar mendem, kue klepon, jenang .....

Ibu saya wanti-wanti, supaya saya lebih sering membuatkan makanan tradisional sambil menikmati secangkir teh seperti jenis-jenis kolak, kue-kue dari bahan singkong dan ubi (mata roda, combro, misro, getuk dll), juga dari bahan beras ketan yang mudah dan murah meriah ketimbang menyediakan makanan siap saji atau biskuit-biskuit yang sudah banyak pengawetnya. Ibu bilang, nanti anak-anak akan terbiasa makan apa yang disajikan kita, maka orangtuanya mesti mencontohkan diri. Untungnya dulu saya suka ikut bantu-bantu Ibu di dapur, jadi bisa dipraktekkan sekarang. Tinggal bagaimana caranya membujuk anak saya supaya mau icip-icip. Mariiii...... - End -
Note : gambar diambil dari Wikipedia

2 komentar:

  1. waah saya pernah makan empal gentongnya disana..mantappp

    BalasHapus
  2. Salam kenal bu, and setuju banget bu dengan program ibu melestarikan traditional food pada anak-anak...

    BalasHapus