Konsumtif Yang Salah Kaprah



Kakak saya seorang ahli medis yang ditempatkan di sebuah desa perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang tingkat kemiskinannya cukup tinggi.

Kebanyakan mata pencaharian mereka sebagai petani. Sebagian lagi bekerja di kota sebagai pembantu, berdagang dan menjadi TKI di luar negeri. Yang beruntung, bisa membuat rumah yang layak di kampung dan membiayai anak-anaknya sekolah.

Namun, banyak juga pengangguran bertebaran. Herannya, tingkat perceraian di kampung ini sangat tinggi. Modusnya, si istri ditinggal kawin suami. Padahal sang suami kaya pun tidak. Hmm, syahwat tidak mengenal kaya miskin, jeng.

Kembali ke kakak saya. Kadang-kadang saya suka nelongso melihat dia yang kerjanya itu tidak mengenal waktu. Jika orang lain tertidur pulas di tengah malam, dia sering sekali digedor pasien untuk segera menolong sanak keluarganya yang ingin melahirkan. Sambil sempoyongan, dia harus siap sedia datang.

Iseng saya bertanya, dibayar berapa untuk sekali persalinan (melahirkan + perawatan harian sampai tali pusat lepas)? Kakak saya tertawa kecil, kalau yang mampu mereka akan membayar penuh walaupun kebanyakan dari mereka membayar dengan mencicil, itu pun berbulan-bulan. Namun yang kurang mampu, kadang sama sekali tidak membayar bahkan lupa untuk sekedar mengucapkan terimakasih.

Anehnya, mereka akan mengusahakan dengan sekuat tenaga dan upaya untuk melaksanakan upacara puputan – upacara yang diselenggarakan pada waktu tali plasenta bayi terlepas dari usus perut - yang notabene membutuhkan biaya yang besar untuk ukuran mereka. Ritual nya banyak dan lagi mereka harus menyiapkan bancakan – makanan yang dibagi-bagikan kepada para tamu/tetangga -. Padahal menurut saya ritual ini tidak wajib. Namun warga biasanya takut dicap tidak mampu, maka lebih memilih untuk me-riya-kan puputan ketimbang membayar biaya persalinan. Biar tekor asal kesohor.

Sama halnya ketika saya ke Kupang minggu lalu. Dengan menumpak taksi, saya mengobrol lepas dengan pak supir. Perawakannya tinggi, wajah khas Timor dengan usia sekitar 30 an. Dia bercerita tentang kemiskinan yang semakin mendera, terutama di Pulau yang lumayan gersang dan cukup susah air bersih itu. Pendapatannya dari menyupir tidak sebanding dengan kebutuhan sehari-hari keluarganya. Sambil sesekali dia menerima sms yang masuk. Saya melirik, hmm kehidupan yang susah tetapi punya handphone terbaru yang saya sendiri sudah tidak tau tipe berapa saking banyaknya varian HP merk sejuta umat itu. Mungkin prinsipnya, lebih baik tidak makan ketimbang gak bisa gaya. Ahh alda alda saja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar