Observatorium Bosscha


Salah satu impian saya sedari kecil adalah melihat teropong raksasa di Observatorium Bosscha. Impian selama 25 tahun itu baru terlaksana seminggu yang lalu. Luar biasa, akhirnya tercapai.

Family gathering kantor suami saya kali ini memang diadakan di Bandung selama 2 hari. Sabtu pagi-pagi sekali kami sekeluarga sudah berangkat. Berhubung acara baru dimulai jam 3 sore, maka pagi nya kami sudah merancang acara untuk berkunjung ke Bosscha. Sekalian juga saya ingin anak saya bisa melihat teropong raksasa itu.

Perjalanan Jakarta – Bandung dilalui dengan lancar. Keluar tol Pasteur kami ke arah Sukajadi lalu terus ke Lembang. Berbekal peta buta dan peta mulut alias tanya sana sini, yang saya tau pokoknya Bosscha itu adanya di Lembang ! Sampai Lembang tinggal tanya saja, beress. Hujan terus mengiringi pencarian kami menuju teropong itu.
Ternyata arah menuju Bosscha sudah terlewati oleh kami beberapa kilo, dari situ kami diberi petunjuk, jika sudah sampai desa Batureog, dibelakang Hotel Citra ada jalan dipenuhi pinus menanjak, nah Bosscha itu letaknya kearah sana.

Saya membayangkan ada plang besar didepan jalan masuk, ternyata nihil. Hanya tulisan di papan ukuran sekitar 20cmx50cm isinya : Observatorium Bosscha – ITB yang ditempelkan dipagar penutup jalan.

Sampai tempat ternyata sudah ada rombongan dari SMU Parongpong sekitar 200an orang. Tidak ada pengunjung perorangan, hanya kami sekeluarga. Setelah bincang-bincang di bagian penerima tamu, beruntung akhirnya saya sekeluarga diselipkan untuk mengikuti penjelasan di dalam teropong bersama rombongan siswa SMU tersebut. Saya tidak tau, ternyata jika ingin masuk ke ruang berkubah itu harus menggunakan ijin formil dan tidak bisa perorangan harus institusi. Ah, senangnya, senang sekali.

Bangunan berkubah bulat itu akhirnya ada di depan mata, yang selama ini saya hanya lihat gambarnya di buku-buku IPS dan di film Petualangan Sherina. Saya terlihat norak, tapi begitulah adanya memang . Kalau saja tidak malu dilihat orang, saya mungkin sudah berjingkrak – jingkrak kegirangan. Alhamdulillah saya bersyukur.

Sebelum penjelasan dimulai, saya berkeliling sambil membaca sejarah pembuatan Bosscha. Banyak tanya yang saya lontarkan ketika sang tutor memberikan kesempatan untuk bertanya. Maklum, namanya juga baru nemu.

Mengapa Bosscha didirikan ? Sebagai tempat pengamatan benda langit dan seiring dengan perkembangan astronomi dan masyarakat Indonesia. Karena sudah sejak jaman baheula masyarakat kita mengamati langit sebagai bagian dari kebutuhan dan kebudayaan. Seperti kepentingan pertanian (waktu bercocok tanam, saat panen), petunjuk arah, petunjuk waktu, system penanggalan dan juga ritual keagamaan.

Mengapa dipilih Lembang? Kala itu Lembang merupakan tempat yang tenang (jauh dari keramaian kota), udara yang sejuk, memiliki pemandangan ke Timur, Barat dan Selatan dengan lepas serta ketinggian tempat 1300 M diatas permukaan laut.


Nama Bosscha diambil dari seorang astronom Belanda Karel Albert Rudolf Bosscha yang menyumbangkan ide serta bantuan biaya pembelian teropong besar. Bosscha mempelopori ide pembangunan observatorium dengan dibentuknya Nederlandch Indische Sterrenkundige Vereeniging (Perhimpunan Ilmu Astronomi Hindia Belanda). Tahun 1922 dimulai pembangunan konstruksi observatorium dan tahun 1923 pembangunan itu rampung. Setelah sekian lama menanti, akhirnya tanggal 10 Januari 1928 teleskop double refraktor Zeiss buatan Jerman tiba di Indonesia dengan 27 buah peti kemas besar diturunkan dari kapal Kertosono milik Rotterdamsche Lloyd.

Mr Bosscha meninggal beberapa bulan setelah instalasi teleskop Zeiss selesai. Sebagai kenangan atas jasa beliau, observatorium tersebut dinamakan Observatorium Bosscha.
Sebetulnya ada beberapa teropong yang berada di bangunan ini, namun Teleskop Zeiss dengan berat 17 ton ini merupakan teleskop yang mempunyai titik api paling panjang, oleh karenanya memiliki kemampuan mengamati obyek langit secara detil. Selain itu teleskop ini terdiri dari 2 teleskop utama dan 1 teleskop pencari (finder).

Bangunan berkubah tempat teleskop bernaung memiliki sebuah jendela yang dapat dibuka dan dapat diputar ke segala penjuru arah, sehingga obyek langit yang berada di seluruh sektor azimut dapat dijangkau oleh teleskop ini. Pada saat itu, hujan tengah berlangsung, sehingga jendela kubah tidak dapat dicoba untuk dibuka, sebab air hujan dapat merusak lensa teleskop. Lantai teleskop pun dapat dinaik turunkan yang berfungsi untuk memudahkan pengamatan benda langit, bila benda langit rendah maka lantai teropong dinaikkan, begitu sebaliknya.

Sayangnya, saya hanya dapat melihat sosok teropong dan cara kerja teleskop tersebut secara umum, sebab penggunaan teleskop diprioritaskan untuk pendidikan mahasiswa dan pengamatan penelitian bidang astronomi.

Bagaimanapun observatorium Bosscha merupakan cagar budaya yang harus dilestarikan keberadaannya. Pemda kabupaten Bandung harusnya melindungi dan mendukung kesinambungan bagi pengamatan dunia astronomi dengan melakukan pengendalian atas pembangunan rumah-rumah di sekitar kawasan Bosscha yang berakibat terhalangnya cakrawala pandang bagi astronom yang sedang mengamati langit.

Andai di Indonesia punya beberapa observatorium lain selain Bosscha....