Naik Mandala Lagi


Minggu lalu, ada undangan meeting dadakan (selalu!) di Semarang. Walau agak malas - apalagi minggu lalu hujan hampir tiap hari mengguyur bumi Jakarta – tapi saya tetapkan untuk berangkat. Agak sulit mendapatkan tiket, hampir semua full booked. Akhirnya dapat tiket pesawat dari Mandala keberangkatan paling pagi, jam 6.10. Cukuplah waktu perjalanan, karena meeting baru dimulai jam 9.

Sudah hampir jam 6 tapi penumpang belum juga dipanggil. Baru pada jam 6, forwarder mengumumkan bahwa pesawat delay 1 jam karena alasan teknis…(ah chrisye eh klise). Mau tak mau ya mesti menunggu, sambil menenangkan hati bahwa masih cukup waktu untuk bisa ikut meeting.

Sudah hampir 6 tahun saya tidak pernah naik Mandala. Sebabnya karena trauma saja. Tahun 2002, ketika saya hamil muda, dengan ijin dokter dan suami, saya pergi dinas ke Bali. Pulangnya, saya naik pesawat Mandala menuju Jakarta dan transit di Surabaya. Ketika pesawat Boeing 737-200 mengudara 15 menit dari Ngurah Rai, kami mendengar bunyi mesin yang cukup keras, Kraaakk, seperti ada batu yang masuk ke sayap pesawat. Segera setelah itu pesawat turun beberapa feet yang membuat saya mual-mual. Sekeliling terasa hening, dan penumpang sudah komat kamit berdoa untuk keselamatan. Cuaca diluar cukup bagus, bening dan sedikit ada awan.

Saya fikir, pesawat akan naik setelah tadi turun anjlok, tapi ternyata pesawat malah turun lagi beberapa feet – rasanya seperti kita turun dari suatu tanjakan – Nyesss....
Ya Allah, saya terus berdoa untuk keselamatan penumpang pesawat ini, terutama jabang bayi di perut. Penumpang sudah mulai berteriak Allahu Akbar, teknisi pesawat berlari menuju kokpit. Masker udara diturunkan dari tempatnya, karena kami sudah mulai tidak mendengar. Pramugari mulai sibuk memberikan bantuan kepada seorang bapak tua di bangku depan saya yang menggigit lidahnya. Saya berfikir, mungkin pesawat mengalami turbulence dan kita sedang masuk ruang hampa udara, sehingga kuping ini berdengung. Kalau tidak segera diberi oksigen, bisa pecah gendang telinga ini.

Sekitar lima menit kemudian pesawat mulai bergerak ke atas, terus dan kembali normal. 10 menit kemudian kami turun di Juanda, dan ganti pesawat karena pesawat tadi telah kehabisan oksigen, atau malah kerusakan mesin? Entahlah...karena sampai kami kembali di Jakarta, pihak Mandala tidak memberitahukan penyebabnya.

Walaupun selamat tiba di rumah, setelahnya jika sedang berdinas keluar kota saya emoh menggunakan pesawat Mandala lagi. Tetapi kali ini, mau tak mau karena kehabisan tiket ya naik Mandala juga. Saya membaca buletin Mandala, ternyata memang maskapai ini telah berganti manajemen yang semula dimiliki oleh angkatan udara RI namun pada tahun 2006 dijual ke sebuah perusahaan asing yang dikomandoi oleh Warwick Brady. Saya lihat pesawatnya banyak yang baru dengan menggunakan Airbus 319 dan 320. Untuk pemeliharaan pesawat, mereka bekerjasama dengan pihak Singapore Airlines yang terkenal sangat ketat dalam hal ini.

Dari segi marketing, Mandala banyak meniru trik nya Air Asia yaitu penjualan yang melalui internet, di pesawat tidak diberi makanan malah berjualan. Ada beberapa masakan yang ditawarkan bagi penumpang, tinggal dilihat di menu. Bedanya, di Mandala kita masih dapat nomor seat, sedangkan di Air Asia mesti rebutan.

Saya hanya berharap komitmen para maskapai terutama di Indonesia, tidak hanya melulu pada upayanya meraup penumpang sebanyak-banyaknya dengan harga murah namun mengabaikan keselamatan penumpang. Tapi perbaikan sistem keamanan, operasional maupun pelayanan pelanggan yang baik nantinya akan mampu meraih hati para pengguna jasa transportasi angkutan udara. Betul tidaaak??

-End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar