Setelah Ramadhan


Tradisi mudik menjadi bagian perayaan Idul Fitri keluarga kami. Lebaran kali ini, kami rayakan di Cirebon, rumah tinggal orangtua saya. Saya dan suami membagi waktu berlebaran berganti-ganti tiap tahun, dan berarti tahun depan kami berlebaran di Surabaya -tempat tinggal mertua saya-.

Beberapa kegiatan sudah saya jadwal, berziarah ke makam Ayah, Eyang-Eyang, Buyut dst. Biasanya, ketika berdoa di makam Ayah, perasaan saya biasa-biasa. Namun entah mengapa, kali ini saya ikut membayangkan para almarhum tersebut menangis entah bahagia atau sedih melihat kunjungan dan doa kami. Tercenung, karena suatu saat pun saya yang ada didalam kubur itu. Duh Gusti....

Mengingat kembali ke 25 tahun silam, lebaran bagi saya dulu adalah berkumpul di rumah Eyang, bertemu sanak saudara. Dengan kegiatan sholat Ied, makan-makan, salam-salaman, ke makam berziarah. Baju dan sepatu baru bisa berganti 2 kali sehari. Tertawa, gembira, haus tinggal minum, lapar tinggal makan. Hanya itu.

Seiring bertambah usia, kini lebaran bikin saya sedih dan bahagia. Tidak lagi terfikir untuk mencari dan memakai pakaian baru. Hanya persiapan mukena lama untuk sholat Ied. Sedih, apakah saya sanggup mengontrol dalam 11 bulan diluar Ramadhan untuk bersikap tawadhu seperti halnya di bulan Ramadhan. Karena dikiri kanan ada godaan yang menurut saya lebih banyak setelah Ramadhan ini. Bagaimana membuat diri ini bisa ditetapkan dalam iman yang kuat. Iman (bukan iman Brotoseno.red), yang kerap turun naik mengikuti irama hati.

Menurut ceramah yang pernah saya dengar, semakin kuat iman seseorang maka semakin kuat juga godaan yang datang. Seperti halnya ketika tivi menyiarkan berita seorang ustadz yang tertangkap sedang nyabu. Ketika itulah iman sedang melemah. Lantas, bagaiamana keadaan iman saya saat ini, setelah Ramadhan berlalu? Hati kecil saya yang bisa menjawab. - End -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar